Jumat, 12 Maret 2010

Persaingan Teknologi CDMA dan GSM

MASYARAKAT mulai merasakan manfaat kompetisi di sektor telekomunikasi dan persaingan teknologi serta persaingan
bisnis antar-operator memberi alternatif pilihan yang menguntungkan. Dengan masuknya Telkomflexi yang berbasis
teknologi CDMA (code division multiple access), maka sekarang masyarakat dapat menikmati layanan telepon seluler
dengan tarif telepon tetap PSTN. Jadi telepon seluler bukan barang mewah lagi.

DALAM menangani persaingan ini, peranan dan konsistensi regulator benar diuji. Yaitu bagaimana kebijakan dan
kebijaksanaan regulasi sektor telekomunikasi untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan para pemain
bisnis.

Permasalahan utama pemerintah selama ini adalah bagaimana mempercepat penambahan infrastruktur telekomunikasi
di Indonesia. Kepadatan telepon (teledensitas) sampai saat ini baru 3,7 persen, atau rata-rata tiga telepon di antara
seratus penduduk. Tentunya angka ini akan lebih kecil lagi untuk di daerah-daerah pedesaan atau daerah terpencil yang
bisa hanya mencapai 0,01 persen saja. Diperlukan terobosan-terobosan teknologi dan regulasi untuk mendongkrak
angka teledensitas Indonesia yang sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.

Di Indonesia, liberalisasi bisnis seluler dimulai sejak tahun 1995, saat pemerintah mulai membuka kesempatan kepada
swasta untuk berbisnis telepon seluler dengan cara kompetisi penuh. Bisa diperhatikan, bagaimana ketika teknologi GSM
(global system for mobile) datang dan menggantikan teknologi seluler generasi pertama yang sudah masuk sebelumnya
ke Indonesia seperti NMT (nordic mobile telephone) dan AMPS (advance mobile phone system)

Teknologi GSM lebih unggul, kapasitas jaringan lebih tinggi, karena efisiensi di spektrum frekuensi. Sekarang, dalam
kurun waktu hampir satu dekade, teknologi GSM telah menguasai pasar dengan jumlah pelanggan lebih dari jumlah
pelanggan telepon tetap. Tren ini akan berjalan terus karena di samping fitur-fiturnya lebih menarik, telepon seluler masih
merupakan prestise, khususnya bagi masyarakat Indonesia.

Namun, sampai saat ini telepon seluler masih merupakan barang mewah, tidak semua lapisan masyarakat bisa
menikmatinya. Tarifnya masih sangat tinggi dibandingkan dengan telepon tetap PSTN (public switched telephone
network), baik untuk komunikasi lokal maupun SLJJ (sambungan langsung jarak jauh), ada yang mencapai Rp 4.500 per
menit flat rate untuk komunikasi SLJJ.

Namun, berapa pun tarif yang ditawarkan operator seluler GSM, karena tidak ada pilihan lain, apa boleh buat, diambil juga.
Terutama karena telepon PSTN tidak bisa diharapkan. Jadi, masuknya CDMA menjanjikan solusi teknologi yang ekonomis
untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam mempercepat penambahan PSTN. Apalagi, CDMA datang dengan
teknologi seluler 3G, yang menawarkan fitur-fitur yang lebih canggih dibandingkan dengan teknologi GSM. Keunggulan ini
sekaligus dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup masyarakat modern.

Mengapa CDMA bisa murah?

Suatu kali seorang mahasiswa di lift tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu dan saya hanya berkometar, jangan-jangan GSM
yang kemahalan. CDMA datang dengan harga 200 dollar AS per SST (satuan sambungan telepon), jauh lebih murah
dibandingkan dengan teknologi akses lainnya selama ini di Indonesia sehingga PT Telkom berani memberikan tarif
murah. Padahal, CDMA lebih canggih dan lebih unggul dibandingkan dengan GSM.

Kalau begitu, perlu dipertanyakan kembali bagaimana sebenarnya iklim bisnis seluler GSM selama ini termasuk
pemain-pemain yang berperan dibalik semua itu. Mulai dari vendor, operator, dan regulator, siapakah yang paling
diuntungkan, meski yang jelas bukan masyarakat sebagai konsumen.

Apalagi jika diperhatikan skema kerja sama antara vendor dengan para operator dalam pola pengadaan atau pembelian
teknologi. Pedihnya lagi, adakah transfer teknologi yang berarti buat negara kita? Sudah hampir satu dekade, vendor-
vendor teknologi jaringan GSM masuk dan berbisnis di Indonesia, kenyataannya kita hanya dijadikan pembeli dan
pemakai teknologi semata.

Sekarang dengan masuknya teknologi CDMA dari kubu lain dengan pelaku bisnis baru apakah itu dari Amerika, Jepang,
Korea, atau Cina, diharapkan iklim bisnisnya akan lebih terbuka. Perlu dicermati apakah ada itikad baik pemain baru itu
untuk meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia kita.

Tentu pemerintah dan para operator harus mempunyai kekuatan negosiasi yang kuat, jangan sampai mereka datang
dengan sederet permintaan dan syarat untuk memudahkan mereka berbisnis, sementara kita tidak tahu mau minta apa
kepada negara mereka. Meskipun kita tak mempunyai keunggulan kompetitif dalam teknologi ini, tetapi potensi pasar yang
menjanjikan, bisa dijadikan kekuatan tawar, misalnya untuk memperjuangkan transfer teknologi yang nyata. Hal lain yang
perlu dicermati adalah jangan sampai terjadi ketergantungan pada satu atau dua vendor seperti pengalaman kita
terdahulu dengan Siemens.

Dari aspek teknologi, baik GSM atau CDMA merupakan standar teknologi seluler digital, hanya bedanya GSM
dikembangkan oleh negara-negara Eropa, sedangkan CDMA dari kubu Amerika dan Jepang. Tetapi perlu diperhatikan
bahwa teknologi GSM dan CDMA berasal dari jalur yang berbeda sehingga perkembangan ke generasi 2,5G dan 3G
berikutnya akan berbeda terus seperti bisa dilihat pada skema.

Oleh karena itu, kita harus hati-hati memilih teknologi. Ketika kita memilih CDMA, maka selanjutnya harus mengikuti jalur
up-grade CDMA terus. Perlu diingat, up-grade jaringan dalam satu jalur teknologi akan lebih gampang dan lebih murah
dibandingkan migrasi ke teknologi lain.

Kinerja jaringan merupakan kriteria berikutnya yang harus diperhatikan dalam pemilihan teknologi. Kinerja jaringan seluler
sangat tergantung efisiensi pemakaian spektrum frekuensi dan sensivitas terhadap interferensi karena spektrum
frekuensi merupakan sumber daya yang sangat terbatas.

Untuk meningkatkan efisiensi spektrum frekuensi, maka dilakukan teknik penggunaan kembali frekuensi re-used,
mempergunakan kembali frekuensi yang sama pada sel lainnya pada jarak tertentu supaya tidak terjadi interferensi.
Teknologi CDMA memiliki kapasitas jaringan yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi GSM dan frekuensi yang
sama dapat dipergunakan pada setiap sel yang berdekatan atau bersebelahan sekalipun.
Teknologi CDMA didesain tidak peka terhadap interferensi. Di samping itu, sejumlah pelanggan dalam satu sel dapat
mengakses pita spektrum frekuensi secara bersamaan karena mempergunakan teknik pengkodean yang tidak bisa
dilakukan pada teknologi GSM.

Mobilitas terbatas

Mobilitas merupakan keunggulan utama teknologi seluler dibandingkan telepon tetap. Setiap pelanggan dapat
mengakses jaringan untuk melakukan komunikasi dari mana saja dan di sini letak perbedaan dengan telepon tetap.
Konsep desain teknologi seluler menjamin mobilitas setiap pelanggan untuk melakukan komunikasi kapan pun dan di
mana pun dia berada. Jadi dari aspek teknologi, tidak ada batasan mobiltas pelanggan bahkan jelajah (roaming)
internasional dapat dilakukan.

Kalau dilakukan pembatasan, apalagi jika dibatasi penggunaan teknologi itu hanya dalam satu sel, pelanggan hanya bisa
melakukan komunikasi atau mempergunakan teleponnya dalam daerah cakupan BTS (base transceiver station) di mana
dia berlangganan.

Untuk Jakarta tentu sangat tidak efektif dan tidak efisien karena misalnya pelanggan yang punya rumah di Jakarta Timur,
bekerja di Jakarta Pusat, atau belanja ke Glodok, teleponnya sudah tidak bisa dipergunakan. Di samping itu, pembatasan
ini bisa dimanfaatkan operator untuk menambah biaya roaming antarsel yang tentu akan merugikan, mempersulit, atau
membodohi masyarakat. Jangan sampai karena persaingan bisnis para operator lalu masyarakat dikorbankan. Jika
pembatasan tetap ingin dilakukan, tentu perlu dipikirkan batasan yang wajar. Misalnya, batasan cakupan meliputi
Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi).

Kejadian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dihadapi India sekitar tahun 2000 ketika para operator GSM khawatir
bisnis mereka terancam saat CDMA masuk. Pemerintah memberikan izin teknologi seluler CDMA-WLL dioperasikan untuk
mempercepat infrastruktur PSTN mereka, untuk mencapai target 7 persen teledensitas pada tahun 2005 mendatang.
Sampai sekarang, Pemerintah India tetap konsisten mempertahankan teknologi CDMA, dengan mobilitas tetap dibatasi,
tetapi daerah cakupan cukup luas yaitu kira-kira satu provinsi.

Menghadapi persaingan bisnis yang makin sengit dan siklus serta persaingan teknologi yang makin cepat, dalam
menentukan kebijakan dan kebijaksanaannya, regulator harus melihat dari segala sudut pandang dengan suatu kajian
yang komprehensif, tidak parsial. Dan yang lebih penting lagi, harus mampu mengantisipasi segala perubahan yang
mungkin terjadi supaya tidak ketinggalan terus.

Dengan adanya konvergensi teknologi telekomunikasi dengan teknologi informasi, kebijakan lisensi seharusnya tidak lagi
tergantung teknologi maupun jasa. Setiap operator bebas memilih teknologi yang paling ekonomis dan cocok untuk
meningkatkan daya saing mereka, agar bisa menawarkan jasa kepada masyarakat dengan tarif yang rendah. Regulator
benar-benar harus independen, tidak memihak kepada teknologi atau vendor mana pun.

Lebih jauh lagi, liberalisasi sektor ini menuntut regulator untuk menjaga kesinambungan layanan kepada masyarakat,
jangan sampai terjadi cherry picking yang mungkin dilakukan oleh pemain-pemain baru. Saat mereka terjepit, mereka
begitu saja berangkat tanpa memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat.
Biasanya kasus ini terjadi pada negara-negara berkembang di mana hukum dan regulasi masih sangat lemah, seperti
pernah terjadi di India sehingga langkah-langkah strategis perlu dipersiapkan baik oleh regulator maupun operator.
Misalnya untuk mengantisipasi persaingan, sebaiknya operator GSM mulai memikirkan alternatif solusi teknologi apakah
up-grade atau migrasi.

Oleh karena itu, peran pemerintah dan regulator tetap sangat dibutuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat suatu
negara terutama dalam masa transisi dari monopoli ke kompetisi. Bagi negara kita, yang sampai saat ini hanya jadi
pembeli dan pemakai teknologi tersebut, tentu harus pintar- pintar memilih teknologi yang paling ekonomis dan cocok
dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi masyarakat.
Jangan sampai terpaku pada suatu teknologi atau pada satu-dua vendor saja. Kita harus bisa mobile secara bebas, tidak
limited mobility.

AsmiatiRasyid Pusat Studi Regulasi Telekomunikasi Indonesia dan Pengajar Sekolah Tinggi Management Bandung
Sumber: Kompas Cyber Media